Gaya Kolonial Bercita Rasa Indonesia

ARSITEKTUR warisan penjajahan Belanda, masih banyak ditemukan di Indonesia. Gaya bangunan kolonial ini pun bisa menjadi alternatif untuk hunian Anda.

Konsep yang bisa menginspirasi Anda untuk membuat hunian idaman dari warisan Negeri Kincir Angin ini, tentu saja harus dimodifikasi. Misalnya pilihan rumah kolonial dengan interior bercita rasa Indonesia. Padu padan gaya yang dihasilkan yakni alternatif antara gaya klasik dan etnik.

Ada dua macam tipe rumah kolonial,yang masih asli atau sudah terdifusi gaya tropis. Umumnya, rumah kolonial tidak mengaplikasi gaya asli karena iklim dan cuacanya berbeda.

"Rumah kolonial asli khasnya memiliki plafon tinggi, pintu dan jendela berukuran besar, tatanan simetris, beranda luas, dan memiliki pilarpilar," sebut arsitek Ir Nugroho Widhi.

Sementara, rumah kolonial tropis dimodifikasi dari bentuk atap yang menjorok keluar. Konstruksi bangunan disesuaikan dengan iklim tropis, terutama pada pengaturan ruang, masuk sinar matahari, dan perlindungan hujan.

Umumnya warna cat dinding didominasi putih. Permainan warna hadir dalam kaca jendela warna-warni (kaca patri) khas art deco. Sementara untuk menjaga suhu dalam rumah tetap sejuk, biasanya lantai menggunakan bahan marmer.

Hal yang paling menonjol dalam struktur bangunan rumah kolonial adalah temboknya yang kokoh. Dalam perhitungan arsitektur, untuk membuat tembok tersebut mereka menggunakan satu sampai satu setengah batu. Dua kali lipat dari kebutuhan rumah biasa yaitu setengah batu dan sisanya adalah rangka beton.

Biaya untuk membangun rumah kolonial pun tidak murah. "Masalahnya, rumah kolonial dengan banyak khas itu, biayanya jadi mahal. Efeknya tidak semua orang memenuhi cost tersebut," ucap Widhi.

Kebanyakan orang hanya melakukan pemugaran, atau sedikit perombakan. Untuk di Jakarta, hal ini terkait dengan program cagar budaya, mempertahankan struktur bangunan asli peninggalan Belanda.

Tidak heran, banyak rumah bergaya kolonial kini tampil lebih modern. Atau di antaranya mencoba berdifusi dengan gaya etnik lewat pemilihan interiornya. Klots, sebuah toko furnitur yang mengusung tagline "Colonial Charm with Contemporary Edge" memberikan alternatif interior rumah kolonial dengan produk-produk asli buatan Indonesia.

"Kami mencoba membuat barang-barang tradisional Indonesia lebih modern dan diterima, dan tetap mempertahankan bentuk aslinya," ujar Claudia dari Klots, Kemang, Jakarta.

Rasa tradisional dengan sentuhan modern, mengkreasikan kayu bekas menjadi perabotan rumah tangga berkualitas. Klots hanya menggunakan bahan baku kayu jati bekas dan didesain ulang menjadi aneka perabotan seperti meja, lemari, kursi, tempat tidur dan sebagai.

Meski bekas, kualitasnya masih sangat terjaga. Siapa yang tidak mengakui kehebatan kayu jati? "Bahan bakunya semua dari Indonesia, pengolahan sudah dilakukan secara turun-temurun, tinggal kita membuat kerajinannya lebih modern," tutur Claudia.

Terinspirasi dari keanggunan gaya kolonial, beberapa bentuk furnitur di sini bak datang dari masa lalu. Seperti sebuah kursi kotak berjok rotan.

Tidak hanya perangkat besar seperti kursi dan meja, Klots memiliki koleksi aksesori antik seperti miniatur sepeda ontel. Mengingatkan akan masa-masa lalu, di mana para pejabat Belanda maupun pribumi kerap kali menggunakan ontel untuk mengunjungi warganya. Paduan antara gaya klasik kolonial dan etnik memang agak bertolak belakang.

Widhi menyarankan, sebaiknya gaya etnik dijadikan pemanis atau eye catching. "Sifatnya cenderung ke gaya klasik, tidak sepenuhnya etnik. Jika sekadar untuk aksen, tentu akan sangat cantik," ucap Widhi.

Karena itu, peremajaan interior rumah bergaya kolonial sangat tepat. Seperti Klots yang coba melahirkan gaya kontemporer modern dari dua inspirasi besar, klasik dan etnik. Klasik di luar, antik dan unik di dalam. (sindo//nsa)

0 komentar: